Agustus merupakan bulan bagi para benih
berlian ilmuwan muda yang telah berhasil melewati masa indah siswa menjadi
mahasiswa. Siswa menjadi mahasiswa bukan hanya sekedar pergantian identitas
yang dapat ditempuh dalam semalam, “katanya”. Namun siswa polos harus
berhadapan terlebih dahulu dengan masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus
(Ospek). Ajang pengenalan yang cukup menakutkan karena senioritas, merendahkan
mahasiswa baru dan berbagai aktivitas perpeloncoan, “katanya”.
Kegiatan Ospek pertama kali dilakukan oleh Universitas
Cambridge, Inggris. Mayoritas mahasiswa universitas tersebut merupakan anak
dari keluarga terhormat, sehingga sulit untuk diatur dan cenderung bertindak
seenaknya. Merasa memiliki kekuatan, para senior membuat aturan setiap
mahasiswa baru harus diplonco. Tujuannya agar para junior hormat.
Sedangkan di Indonesia, Ospek sudah ada sejak Zaman
Kolonial, tepatnya di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927).
Pada masa itu, mereka yang baru masuk harus menjadi “anak buah” si kakak kelas
itu seperti membersihkan ruangan senior. Hal tersebut berlanjut pada masa Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942).1
Pada masa GHS, kegiatan itu menjadi lebih formal. Istilah
yang digunakan pada saat itu adalah ontgroening
atau “membuat tidak hijau lagi”, suatu proses untuk mendewasakan si anak baru. Pemandangan tersebut nampaknya masih juga
berlaku hingga saat ini.
Fenomena Ospek selalu penuh pro dan kontra, baru-baru ini
terdapat tulisan mengenai penolakan terhadap manifesto Ospek2 yang ditulis oleh salah satu
mahasiswa FISIP UI. Ia menyatakan untuk menolak seratus persen akan Ospek yang
dianggapnya sebagai ladang penindasan dan kekerasan fisik maupun non fisik oleh senior kepada
juniornya.
Sedangkan disatu sisi, kembali terbit tulisan serangan balik
oleh salah satu mahasiswa yang sama jurusan dan kampus namun berbeda angkatan.
Tulisan yang berjudul Pertentangan diantara Budak ‘Idealisme’ Fana Dibalik
Dalih Arah Pendewasaan3 menganggap senioritas dalam Ospek merupakan pembelajaran yang
baik sebelum masuk dunia kerja.
“Dalam realita hidup di Indonesia faktanya ketika kita masuk
di ruang baru atau lingkungan yang baru kita tidak bisa langsung dianggap
setara dengan yang lebih dulu, pastinya kita pun akan melalui fase menjadi
junior di tempat kerja,” begitulah salah satu kutipannya.
Dibalik pro dan kontra atau bahkan keinginan menghilangkan
kegiatan Ospek, banyak hal yang harus diperhatikan agar kita dapat mengerti
esensi dari, oleh dan untuk siapa Ospek diadakan.
Pertama, pada hakikatnya mahasiswa merupakan segelintir
benih manusia terbaik yang akan membawa perubahan di lingkungannya bahkan
negara. Perubahan ditingkat moral, ekonomi, kreativitas, dan sebagainya serta
menjadi panutan bagi anak-anak yang kelak akan meneruskan perjuangan. Sebagai benih-benih yang yang akan
membawa perubahan dalam lingkungan sosial bahkan negara, Ospek akan menjadi
pintu awal yang sangat menentukan karakter mahasiswa baru itu.
Kedua, perlu diingat bahwa Ospek sebagai salah satu pendidikan pertama yang diberikan kampus
terhadap mahasiswa baru. Ospek bukan hanya pengenalan fisik kampus, struktur
kepengurusan, dan nama-nama dosen semata, melainkan tempat mahasiswa baru belajar
untuk lebih dewasa dalam pola pikir, mendisiplinkan diri, dan tingkah laku di
masyarakat kelak.
“Tujuan
pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta
memperhalus perasaan.” Tan Malaka.
Jika budaya
perpeloncoan, intimidasi, dan kekerasan baik fisik maupun non fisik dalam Ospek
terus diterapkan hingga kini. Hal ini berdampak kepada lulusan perguruan tinggi
yang memungkinan akan menurunkan budaya tersebut terhadap strata terbawah dalam
lingkungan sosialnya kelak.
Agar budaya buruk
Ospek dapat berhenti dan tidak diturunkan kepada generasi muda selanjutnya,
maka harus ada sinergi antara pihak penyelenggara (Universitas) dan mahasiswa
baik dalam lingkungan kelembagaan maupun mahasiswa umum. Kenapa harus seperti
itu? Jika hanya satu pihak saja yang menjalankan kegiatan Ospek ini, maka
mahasiswa baru hanya akan menjadi korban dari budaya kampus yang salah.
Ketika Ospek
dikendalikan penuh oleh pihak penyelenggara dengan tidak mengikut-sertakan
anggota dari lembaga kemahasiswaan kampusnya, hanya akan menyebabkan minat
mahasiswa terhadap lembaga mahasiswa akan rendah.
Lembaga mahasiswa
merupakan tempat mahasiswa untuk dapat menuangkan kreativitas, belajar menjalin
relasi, cara memecahkan masalah, berdisiplin, bertanggung jawab, dan berbagai
pengalaman yang dapat menunjang kehidupan di masyarakat kelak. Cukup
disayangkan jika mahasiswa baru tidak mau terjun kedalam lembaga mahasiswa.
Sedangkan ketika
Ospek dikendalikan penuh oleh mahasiswa, maka budaya buruk akan Ospek yang di
dalamnya terdapat kekerasan, intimidasi, dan sebagainya itu akan terus
diturunkan. Mahasiswa baru akan mengaggap dirinya rendah ketika berhadapan
dengan seniornya, tidak percaya diri, dan hanya bermental budak dan memperbudak
yang lemah.
“Bila kaum muda
yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar
untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki
cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama
sekali." Tan Malaka.
Mahasiswa tidak
perlu berunjuk rasa di depan kampus untuk mengambil alih kegiatan Ospek.
Semuanya sudah jelas dan tercantum dalam Surat Edaran Ristekdikti Nomor:
253/B/SE/VIII/2016 yang menyatakan bahwa kegiatan masa orientasi adalah program
institusi, bukan milik mahasiswa.4 Namun perlu diingat bahwa di
dalam Surat Keputusan Ristekdikti Nomor: 116/B1/SK/2016 Bab VI tentang
Organisasi Kepanitiaan poin C, kegiatan Ospek harus mengikut-sertakan
mahasiswa.5 Oleh karena itu, kedua pihak harus saling menurunkan ego
dan saling mempercayai dalam sebuah kolaborasi.
Ospek bukanlah
kegiatan sebagai syarat merubah siswa menjadi mahasiswa. Ospek lebih rumit dari
itu semua. Ospek adalah kegiatan dari kampus, oleh kampus serta mahasiswa, dan
untuk kemajuan negeri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar