Menurut Denis
McQuail (2000), media massa memiliki sifat atau karakteristik yang mampu menjangkau
massa dalam jumlah besar dan luas (universaity of reach), bersifat
publik dan mampu memberikan popularitas kepada siapa yang muncul di media
massa. Karakteristik media tersebut memberikan konsekuensi bagi kehidupan
politik dan budaya masyarakat kontemporer dewasa ini. Dari perspektif politik,
media massa telah menjadi elemen penting dalam proses demokratisasi karena
menyediakan arena dan saluran bagi debat publik, menjadikan calon pemimpin
politik dikenal luas masyarakat dan juga berperan menyebarluaskan berbagai
informasi dan pendapat.
Sejalan
dengan perkembangan teknologi, media massa juga ikut berkembang. Sehingga
muncul istilah media massa baru atau lebih dikenal sebagai media baru. Hal ini
ditenggarai oleh pengertian media massa mulai menunjukan batasan yang tidak
jelas atau diangap tidak jelas oleh sebagaian orang. Melihat karakteristik
media baru dapat memeberikan tanggapan langsung, sehingga salah satu
karakteristik media massa lama yakni tanggapan masyarakat tertunda. Menurut
Pierre Levy, internet masuk ke dalam istilah media baru tersebut. Oleh karena
itu, media online atau media daring masuk dalam kategori media baru.
Dari
perspektif budaya, media massa telah menjadi acuan utama untuk menentukan
definisi-definisi terhadap suatu perkara dan media massa memberikan gambaran
atas realitas sosial. Media massa juga menjadi perhatian utama masyarakat untuk
mendapatkan hiburan dan menyediakan lingkungan budaya bersama bagi semua orang.
Peran media massa dalam ekonomi juga terus meningkat bersamaan dengan
meningkatnya pertumbuhan industri media massa, diversifikasi media massa, dan
konsolidasi kekuatan media massa di masyarakat.
Media massa
dikelola oleh suatu perusahaan pers yang memiliki fungsi sebagai kontrol
sosial, pemberi informasi, hiburan, dan edukasi untuk masyarakat luas. Di
samping fungsi pers yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang Undang Pers No.
40 tahun 1999, pers sebagai lembaga sosial dapat berfungsi sebagai lembaga
ekonomi (pasal 3 ayat 2 UU Pers No. 40 tahun 1999). Lembaga ekonomi merupakan
bagian dari lembaga sosial yang berkaitan dengan pengaturan dalam bidang-bidang
ekonomi dalam rangka mencapai kehidupan yang sejahtera. Secara singkat lembaga
ekonomi ialah pranata yang mempunyai kegiatan bidang ekonomi demi terpenuhinya
kebutuhan masyarakat.
Menurut
McLuhan, teknologi media telah menciptakan revolusi di tengah masyarakat karena
masyarakat sudah sangat tergantung kepada teknologi, dan tatanan masyarakat
terbentuk berdasarkan pada kemampuan masyarakat menggunakan teknologi.
Pemikiran McLuhan tersebur dinamakan ekologi media. Secara definisi, ekologi
media adalah studi mengenai lingkungan media, gagasan bahwa teknologi dan
teknik, mode informasi, dan kode komunikasi memainkan peran penting dalam
kehidupan manusia. Dengan ini, McLuhan melihat media berperan menciptakan dan
mengelola budaya.
Mengelola dan
menciptakan budaya di masyarakat semaikn diperkuat dengan ditemukannya teori
agenda setting. Teori ini menjelaskan terdapat hubungan yang kuat antara
berita yang disampaikan media dengan isu-isu yang dinilai penting oleh publik. Agenda setting terjadi karena media massa sebagai penjaga gawang
informasi (gatekeeper) harus selektif dalam menyampaikan berita. Media
harus melakukan pilihan mengenai apa yang harus dilaporkan dan bagaimana
melaporkannya. Apa yang diketahui publik mengenai suatu keadaan pada waktu
tertentu sebagaian besar ditentukan oleh proses penyaringan dan pemilihan
berita yang dilakukan media massa (Pamela J. Shoemaker:1996).
Menurut
Walter Lippamann (1992) media bertanggung jawab membentuk persepsi publik
terhadap dunia. Ia mengatakan bahwa gambaran realitas yang diciptakan media
hanyalah pantulan dari realitas sebenarnya. Dan karenanya terkadang realitas
tersebut mengalami pembelokan atau distorsi. Gambaran yang diberikan media
massa mengenai dunia menciptakan apa yang disebutnya dengan “lingkungan palsu”
yang berbeda dengan realitas “lingkungan sebenarnya”.
Lippmann
menambahkan, lingkungan masyarakat yang sesungguhnya terlalu besar, terlalu
kompleks, dan terlalu cepat untuk dapat dikenali secara langsung. Kita tidak
dilengkapi dengan kemampuan untuk menghadapi berbagai macam kerumitan,
keragaman, perubahan, dan berbagai kombinasi yang muncul. Dan secara
bersama-sama kita harus bertindak di dalam lingkungan tersebut, kita harus
merekonstruksikan lingkungan melalui model yang lebih sederhana sebelum kita
dapat mengolah lingkungan tersebut.
“Bukti-bukti
sudah menumpuk bahwa para editor media cetak dan para pengelola media memainkan
peran penting dalam membentuk realitas sosial kita ketika mereka melakukan
pekerjaan untuk memilih dan membuat berita. Dampak dari media massa yaitu
kemampuannya untuk mempengaruhi perubahan kognitif individu, untuk membentuk
pemikiran mereka dinamakan dengan fungsi agenda setting komunikasi
massa. Di sinilah letak efek paling penting komunikasi massa, yaitu
kemampuannya secara mental untuk menata dan mengorganisasi dunia untuk kita,”
tanggap Donald Shaw dan Maxwell McCombs atas pernyataan Lippmann.
Teori agenda setting
erat kaitan dengan pembentukan opini publik akibat konstruksi dari media massa
yang terus menerus memberitakan tentang suatu hal. Mengambil analisis cultural
studies yang memberikan perhatian pada bagaimana budaya dipengaruhi oleh
berbagai kelompok dominan dan berkuasa. Stuart Hall mengatakan, media adalah
instrumen kekuasaan kelompok elite, dan media berfungsi menyampaikan pemikiran
kelompok yang mendominasi masyarakat, terlepas apakah pemikiran itu efektif
atau tidak.
Cultural
studies merupakan
tradisi pemikiran yang berakar dari gagasan ahli filsafat Karl Marx yang
berpandangan kapitalisme telah menciptakan kelompok elite berkuasa yang
melakukan eksploitasi terhadap kelompok yang tidak berkuasa dan lemah. Marx
berpandangan bahwa pesan yang disampaikan media massa sejak awal dibuat dan
disampaikan kepada khalayak audiens dengan satu tujuan, yaitu membela
kepentingan dan paham kapitalisme. Walaupun media sering kali mengklaim atau
menyatakan bahwa mereka menyampaikan informasi untuk kepentingan publik dan
kebijakan bersama (common good), namun pasti berujung dengan profit.
Dalam
hal ini, kaum elit yang dimaksud bukanlah perusahaan kapitalis,
penguasa, ataupun pemerintah secara luas. Melainkan lebih kepada penguasa atau
pemilik perusahaan pers itu sendiri. Memanfaatkan momentum, pemilik modal
menggerakkan wartawan agar terus memberitakan suatu hal yang menjadi agenda setting
suatu media.
Kasus video
pidato Prabowo Subianto selaku ketua umum partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
yang menyebutkan bahwa Indonesia bubar tahun 2030 dalam seminar di Universitas
Indonesia pada 18 September 2017, menjadi santapan menarik media massa dalam
meningkatkan jumlah pembaca. Ketika jumlah pembaca meningkat maka akan membuat
para pengiklan percaya untuk beriklan di media tersebut. Selain aspek
kredibilitas media, pengiklan juga akan membandingkan jumlah pembaca media
tersebut.
Berita
dijadikan sebuah komoditas yang sangat bernilai pada pemasukan perusahaan pers
lewat iklan. Berita yang dikeluarkan hanya berisikan kepentingan untuk meraup
keuntungan berlebih tapi melupakan bagaimana seharusnya jurnalistik diterapkan
demi kepentingan masyarakat. Selain membela kepentingan pribadi si pemilik,
media massa juga dijadikan ladang bisnis. Miris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar