Bukan Sekedar Berkata-kata

Imaji Lugu Bocah Desa



Lika-liku palsu gemerlap surga dunia hidup di kota terus merasuk dalam otak bocah desa lugu akibat rutinitas menonton TV di rumah, karena orang tua tak mampu membiayai sekolah. Tayangan si geboy anak jalanan, puteri yang lahir bersamaan, dan banyak sinetron orientasi profit minim edukasi menghantam logika bocah sehingga sang bocah tak tahu seberapa kerasnya Ibukota. Hidup di kota sangat menyenangkan. Banyak wanita berbaju telanjang, paras putih bak permaisuri, bebas tanpa aturan, hingga menyebabkan munculnya logika lugu sang bocah bawa kota lebih baik daripada desa.
Hal tersebut diperparah dengan konstruksi logika lugu orang tua akan kehidupan kota. "Berkerjalah di kota nak, niscaya kau akan mendapatkan hidup sempurna." Kurang lebih, kalimat tersebut sering terlontarkan kepada Sang Lugu saat mulai masuk umur produktif agar berkerja di kota. Al hasil, tanpa pengalaman, keterampilan dan relasi, Bocah Lugu akhirnya berangkat jua ke kota dengan modal seadanya ditambah semangat iming-iming iminginer. 
Sampai di kota, Bocah Lugu semakin bingung. ia bertanya "Kenapa kota sangat berbeda dengan apa yang ditayangkan dalam layar cembung di rumahnya?" Dalam perjalanan menuju kota saja, ia sudah kehilangan separuh bekal yang diberikan orang tuanya untuk merantau. Hal itu disebabkan oleh keluguan saat mencoba membantu kakek-kakek yang tidak mendapat tempat duduk. Akhirnya Sang Lugu berdiri, sehingga memudahkan si kumis mencuri.
Saat sampai di kota, hanya cahaya bulan yang dapat menemani kontraksi gelombang antara otak dan hati. Satu sisi logika Sang Lugu sudah memahami kebobrokan kota, sedangkan sang hati masih angkuh dengan pendapat bahwa kota lebih baik daripada desanya. Dan pergulatan dimenangkan oleh keangkuhan.
Sambil bejalan tanpa arah, Sang Lugu teringat akan kenangannya dahulu saat bergadang demi menonton sinetron spesial ramadhan sambil menunggu subuh berkumandang. Sinetron fenomena Kumpulan Pencari Tuhan menjadi teman menyantap sahur kala itu. Berlatarkan Masjid, seorang marbot menuntun tiga berandal menuju kebaikan dan akhirnya beliau berhasil menuntun ketiga berandal tersebut. Saat mengingat-ingat adegan sinetron itu, maka muncul pemikiran bahwa untuk sementara waktu agar tinggal di masjid terdekat.
Setelah lelah berjalan selama lebih dari satu jam, akhirnya mimik wajah Si Lugu berubah sumringah karena menemukan masjid yang ia dambakan sedari tadi. Saat langkah sudah terhenti tepat di depan masjid, Si Lugu bertambah heran. "Kenapa gerbang masjidnya harus terkunci?" Otak dan hatinya kembali berkecambuk. Namun, keangkuhan kembali menang. Akhirnya Si Lugu kembali melanjutkan perjalanan.Langkah kakinya perlahan mulai lambat akibat kelelahan. Sudah lebih dari tujuh masjid ia singgahi namun tak ada satu pun yang terbuka kunci gerbangnya. Otak dan hati kembali menyatakan perang, namun Si Lugu tak mau menanggapinya kali ini. Ia lebih memilih untuk duduk beristirahat di depan toko yang sudah tutup.
Rombongan air limbah rumah tangga menghantam wajah dengan keras dengan diiringi ledakan emosi sang penjaga toko. Lugu terkejut linglung, Ia bertanya dalam hatinya kenapa, kenapa dan kenapa. Apa yang salah? Di TV tak pernah ada kejadian seperti ini? Ia pun bangkit dan melanjutkan perjalanan tanpa arah.
Dalam perjalanan, otak dan hati tetap berseteru. Namun kali ini tak ada pemenang, mereka terkalahkan oleh pemberontakan dalam perut. Perjalanannya terhenti di sebuah warung makan, ia makan dengan lahap tanpa meyisakan satu butir nasi di atas piring. Seketika Si Lugu ingin membayar, ia kelimpungan mencari sisa uangnya. Setengah jam ia berkutat dalam mencari uang tersebut tapi tak jua membuahkan hasil. Di saat Si Lugu sudah hampir menyerah dengan keadaan dan kehidupan kota, tiba-tiba datang seorang pria berpakaian lusuh langsung melunasi apa yang sudah dimakan oleh Bocah Lugu. 
Setelah berulang kali mengucap terima kasih kepada pria lusuh itu, Si Lugu ditawari pekerjaan oleh pria itu. Pekerjaan yang mendebarkan namun menghasilkan banyak uang. 
Saat ditawari pekerjaan itu, otak dan hati kembali berdebat. Berdebat sangat sengit hingga akhirnya logika memenangkan pertandingan. Hari pertama, Si Lugu masih kaku. Namun setelah berbulan-bulan hampir setahun berlalu, Si Lugu sudah tak lagi seperti dulu. Kini ia berubah beringas melupakan ideologi kehidupan kota adalah kehidupan yang sempurna. "Kota itu penuh Ular!!!!!" teriak Si Lugu.
***Desa harus jadi kekuatan ekonomiAgar warganya tak hijrah ke kotaSepinya desa adalah modal utamaUntuk bekerja dan mengembangkan diri
Kutipan lirik lagu Iwan Fals di atas mengingatkan bahwa sebuah negara akan kehilangan penganggur serta mengurangi kepadatan Ibukota dengan membuka lapangan kerja di desa. Karena desa harus jadi kekuatan ekonomi. Entah siapa yang salah dalam hal pembangunan desa. Apa anggaran tak mencukupi? Korupsi? Ataukah orang desanya sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

@templatesyard